Jumat, 27 Oktober 2017

Persamaan Hammett

Suatu reaksi polar terjadi karena interaksi antara sebuah nukleofil dengan sebuah elektrofil. Kekuatan interaksi dan afinitas reaksi tersebut umumnya dikuasai oleh kekuatan nukleofil dan elektrofil pereaksi. Gugus substituen yang tidak mengalami reaksi namum berlokasi di dekat pusat reaksi mengganggu kekuatan tersebut melalui penarikan elektron atau penyumbangan elektron. Substituen pemberi elektron meningkatkan kekuatan nukleofil (kebasaan) dan menurunkan kekuatan elektrofil (keasaman), hal yang sebaliknya terjadi pada substituen penarik elektron yang akan meningkatkan kekuatan elektrofil dan menurunkan kekuatan nukleofil pereaksi.
Pada tahun 1937 Hammett mengusulkan suatu hubungan kuantitatif untuk menghitung pengaruh substituen terhadap reaktivitas molekul, hubungan ini disebut persamaan Hammett.
Gambar 1. Persamaan Hammett (persamaan 1)
dengan = tetapan hidrolisis ester tersubstitusi meta atau para,
k   = tetapan hidrolisis yang bekaitan dengan senyawa tak tersubstitusi,
σ = tetapan substituen,
ρ   = tetapan reaksi.
Persamaan ini menggambarkan pengaruh substituen polar posisi meta atau para terhadap sisi reaksi turunan benzena. Persamaan Hammet tidak berlaku untuk substituen pada posisi orto dan juga terhadap turunan alifatik. Suatu alur log k/ko lawan σ adalah linier, dan kemiringannya adalah ρ. Tetapan substituen σ ditetapkan dengan persamaan 2 :
Gambar 2. Tetapan substituen σ (persamaan 2)
dengan Ko menyatakan tetapan ionisasi asam benzoat, dan K adalah tetapan ionisasi turunan asam benzoat.
Tabel 1. Nilai tetapan substituen bagi substituen yang terpilih
Persamaan 2 mengukur efek polar substituen relatif terhadap hidrogen, efek ini tidak tergantung pada sifat reaksi. Efek induksi dan efek mesomeri keduanya terkandung dalam persamaan 2. Tetapan reaksi ρ mengukur kerentanan reaksi terhadap efek polar, tetapan ini tergantung pada reaksi. Nilai tetapan beberapa substituen telah dikumpulkan dalam tabel 1 nilai tersebut didasarkan pada data ionisasi asam benzoat.
Pada tabel 1 telah jelas bahwa nilai σ bagi beberapa gugus adalah negatif sedangkan yang lain adalah positif. Nilai angka bagi ρ (tabel 2) dapat diinterperetasikan dengan yang sama. Suatu reaksi yang melibatkan muatan positif dalam keadaan transisi akan dibantu oleh substituen pemberi elektron dan nilai ρ akan negatif. Di pihak lain bagi reaksi yang melibatkan penurunan muatan positif atau meningkatan muatan negatif akan dipermudah oleh substituen penarik elektron dan nilai ρ akan positif. Besarnya nilai ρ menunjukkan kepekaan pusat reaksi terhadap efek polar dari substituen dan juga memberikan informasi tentang sifat keadaan transisi yang terlibat dalam reaksi. Kecepatan sejumlah reaksi telah dihubungkan dengan persamaan Hammet, dan beberapa yang lain dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan Hammet. Sangat sulit memperkirakan ρ dari kondisi percobaan karena ρ tergantung pada banyak faktor seperti pelarut, sifat gugus pergi, dan sebagainya. Penempatan gugus metilen di antara pusat reaksi dengan cincin aromatik akan menurunkan nilai ρ karena efek polar diteruskan melalui ikatan yang telah bertambah.
            Persamaan Hammet yang telah mengalami perluasan tertentu telah diusulkan . Jaffe menyelidiki sifat penambahan lebih daripada satu gugus kepada cincin aromatik. Jaffe menemukan bahwa nilai σ untuk berbagai gugus dapat dijumlahkan dan hubungan berikut memberikan hasil yang baik.
Gambar 3. Persamaan Hammet yang telah mengalami perluasan (persamaan 3)
dengan Σσ berarti jumlah nilai-nilai σ dari semua gugus.
Bagi senyawa yang mengandung lebih dari satu cincin benzena, persamaan 4 berikut ini dapat digunakan untuk menghubungkan hasil-hasil tersebut.
Gambar 4. senyawa yang mengandung lebih dari satu cincin benzena (persamaan 4)
Di dalam sistem alifatik kaku seperti asam 4-substituen bisiklo[2,2,2]oktan-1- karboksilat (22), substituen-substituen juga mengikuti persamanaan Hammett meskipun dengan kumpulan nilai σ yang berbeda, digambarkan dengan σ1. Nilai σ1 menyatakan efek elektrik substituen yang terikat pada atom karbon hibrida sp3 karena efek ini diteruskan elektron σ. Nilai σ1 sejumlah gugus diberikan dalam Tabel 1.
Tabel 2. Nilai tetapan substituen bagi substituen yang terpilih
Persamaan Hammett terbukti paling sukses digunakan untuk hubungan kuantitatif antara struktur-struktur senyawa dengan kesetimbangan atau kecepatan reaksi. Akan tetapi teramati pula adanya penyimpangan dari persaman tersebut. Telah ditemukan adanya grafik antara logaritme tetapan kecepatan reaksi lawan σ yang non-linear, diperoleh dari reaksi klorinasi dengan nitrasi benzena tersubstitusi, dan reaksi benzilhalida dengan amina. Tetapan kecepatan reaksi solvolisis meta-substitusi fenildimetilkarbinil klorida memberikan grafik linier terhadap tetapan σ, tetapi parasubstituen menyimpang dari linearitas. Alasan yang paling penting untuk deviasi ini adalah interaksi resonansi antara substituen dengan pusat reaksi.
Nilai σ yang berbeda diperlukan untuk menghubungkan reaktivitas substituen dalam reaksi. Brown et al., mengusulkan tetapan substituen baru (disimbol σ+) yang bedasarkan pada solvolisis fenilmetilkarbinil klorida sebagai reaksi pembanding. Persamaan Hammet termodifikasi tersebut dinyatatakan sebagai berikut :
Gambar 5. Persamaan Hammet termodifikasi (persamaan 5)
Nilai σ+ bagi beberapa substituen didaftar dalam tabel 1. Pada tabel tersebut tampak jelas bahwa σp + berbeda dari σp untuk substituen yang bersifat sangat pemberi elektron. Hal ini menggambarkan derajat resonansi yang lebih tinggi antara substituen dengan pusat reaksi bermuatan positif. Hubungan data kecepatan reaksi dengan nilai σ+ juga telah diperoleh dalam sejumlah hal (tabel 2). Hal yang dapat dicatat dari tabel 2 bahwa reaksi ion karbonium biasanya menghasilkan nilai negatif ρ yang besar dan dipermudah oleh pengusiran elektron.

Pertanyaan :
1. Apa yang menyebabkan meningkat dan turunnya kekuatan neukleofil dan elektron ?
2. Kenapa pada persamaan hammet tidak berlaku untuk substituen pada posisi orto dan turunan alifatik ?
3. Menunjukkan apa nilai dari σ pada beberapa gugus tersebut negatif ?

Sumber : Firdaus. 2009. Kimia Organik Fisis I. Makassar : UNHAS.

Selasa, 24 Oktober 2017

Keasaman dan Kebasaan Senyawa Organik

Asam dan Basa : Bronsted-Lowry
Konsep penting yang berhubungan dengan elektronegativitas dan polaritas adalah konsep asam dan basa. Sifat-sifat kimia dari suatu senyawa dapat dijelaskan oleh sifat asam basa dari senyawa yang bersangkutan. Menurut definisi Bronsted-Lowry, suatu senyawa bersifat asam jika dapat menyumbangkan proton (H+), sedangkan basa berarti senyawa yang dapat menerima proton (H+). Contohnya, asam klorida (HCl) dilarutkan dalam air maka akan terjadi reaksi asam-basa. Asam klorida akan memberikan proton kepada molekul air. Hasilnya adalah H3O+ dan Cl- yang disebut asam konjugat dan basa konjugat. Asam-asam mineral lain seperti asam sulfat, asam nitrat, dan hidrogen bromida dapat bertindak sebagai donor proton, oleh karenanya bersifat asam. Demikian juga dengan asam-asam karboksilat.
Gambar 1. Contoh reaksi asam-basa Bronsted-Lowry


Asam klorida merupakan asam kuat, sehingga reaksi cenderung ke arah kanan (terion) atau bisa dikatakan reaksinya irreversibel. Untuk asam-asam lemah, misalnya asam asetat bereaksi reversibel dengan air. Proses kesetimbangan reaksi dapat dijelaskan menggunakan konstanta kesetimbangan (Keq; equilibrium constants).

Dalam larutan air, konsentrasi air cenderung tidak berubah, yaitu sekitar 55.5 M. Dengan demikian kita memperoleh persamaan baru yang disebut konstanta keasaman (Ka; acidity constants). Konstanta keasaman diperoleh dengan mengalikan konstanta kesetimbangan dengan konsentrasi air.
Asam-asam kuat memiliki konstanta keasaman besar karena kesetimbangan bergeser ke arah kanan, sedangakan asam-asam lemah memiliki konstanta keasaman kecil. Umumnya keasaman dilambangkan dengan pKa yang merupakan nilai negatif logaritma dari konstanta keasaman.
Dengan demikian, asam-asam kuat memiliki nilai pKa rendah, sedangkan asam-asam lemah memiliki pKa tinggi. Sejauh ini yang dibicarakan adalah tentang keasaman, tetapi konsep yang sama dapat digunakan untuk menentukan kebasaan relatif suatu senyawa. Basa konjugat dari asam kuat adalah basa lemah, karena memiliki afinitas yang kecil terhadap proton. Sebalikanya, basa konjugat dari asam lemah adalah basa kuat, karena memiliki afinitas yang besar terhadap proton. Contohnya, ion klorida (Cl-) adalah basa lemah, karena merupakan basa konjugat dari asam kuat (HCl). Ion asetat adalah basa lebih kuat karena merupakan basa konjugat dari asam lemah (asam asetat).
Gambar 2. Contoh asam-basa dan konjugatnya
Asam dan Basa : Lewis
Asam Lewis adalah senyawa yang dapat bertindak sebagai akseptor/ penerima pasangan elektron, sedangkan basa Lewis berarti senyawa yang dapat bertindak sebagai donor/ pemberi pasangan elektron. Konsep asam-basa Lewis sangat luas digunakan bukan hanya senyawa pemberi atau penerima proton saja tapi juga dapat diterapkan pada senyawa lain. Proton (ion hidrogen) merupakan asam Lewis karena dapat menerima sepasang elektron supaya dapat stabil. Demikian pula senyawa BF3 dan AlCl3 juga merupakan asam Lewis, karena memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima sepasang elektron dari basa Lewis.
Boron tetravalen seperti BF3 memiliki enam elektron pada kulit terluarnya, sehingga masih ada satu orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron dari senyawa donor elektron. Hal yang sama juga terjadi untuk AlCl3, di mana Al juga hanya memiliki enam elektron pada kulit terluarnya, sehingga dapat betindak sebagai asam Lewis yang kuat.
Gambar 3. Contoh asam-basa Lewis
Asam dan Basa Organik
a. Asam Organik
Asam organik dicirikan oleh adanya atom hidrogen yang terpolarisasi positif. Terdapat dua macam asam organik, yang pertama adanya atom hidrogen yang terikat dengan atom oksigen, seperti pada metil alkohol dan asam asetat. Kedua, adanya atom hidrogen yang terikat pada atom karbon di mana atom karbon tersebut berikatan langsung dengan gugus karbonil (C=O), seperti pada aseton.
Metil alkohol mengandung ikatan O-H dan karenanya bersifat asam lemah, asam asetat juga memiliki ikatan O-H yang bersifat asam lebih kuat. Asam asetat bersifat asam yang lebih kuat dari metil alkohol karena basa konjugat yang terbentuk dapat distabilkan melalui resonansi, sedangkan basa konjugat dari metil alkohol hanya distabilkan oleh keelektronegativitasan dari atom oksigen.
Gambar 4. Perbandingan keasaman metil alkohol dengan asam asetat
Keasaman aseton diperlihatkan dengan basa konjugat yang terbentuk distabilkan dengan resonansi. Dan lagi, dari bentuk resonannya menyetabilkan muatan negatif dengan memindahkan muatan tersebut pada atom oksigen.
Gambar 5. Keasaman aseton
Senyawa yang disebut dengan asam karboksilat, memiliki gugus –COOH, terdapat sangat banyak di dalam organisme hidup dan terlibat dalam jalur-jalur reaksi metabolik. Asam asetat, asam piruvat,dan asam sitrat adalah contohnya. Perlu dicatat bahwa pH fisiologis adalah sekitar 7.3, sehingga asam karboksilat sebagian besar terdapat sebagai anionnya, yaitu anion karboksilat, -COO-.
Gambar 6. beberapa contoh senyawa asam karboksilat
b. Basa Organik
Basa organik dicirikan dengan adanya atom dengan pasangan elektron bebas yang dapat mengikat proton. Senyawa-senyawa yang mengandung atom nitrogen adalah salah satu contoh basa organik, tetapi senyawa yang mengandung oksigen dapat pula bertindak sebagai basa ketika direaksikan dengan asam yang cukup kuat. Perlu dicatat bahwa senyawa yang mengandung atom oksigen dapat bertindak sebagai asam maupun basa, tergantung lingkungannya.
Gambar 7. Beberapa contoh basa organik

Pertanyaan :   
1. Apa penyebabnya suatu senyawa yang mengandung oksigen dapat bertindak sebagai basa ketika direaksikan dengan asam yang kuat ?
2. Lingkungan seperti apa senyawa yang mengandung atom oksigen dapat bertindak sebagai asam maupun basa ?
3. Faktor apa yang mempengaruhi ionisasi asam dan basa ?


Sumber : Prasojo, S. L. 2012. Kimia Organik I Jilid 1. Yogyakarta : Pratiwi.

Rabu, 18 Oktober 2017

Aromatisasi



Aromatisitas adalah sebuah sifat kimia dimana sebuah cincin terkonjugasi yang ikatannya terdiri dari ikatan tidak jenuh, pasangan tunggal, atau orbit kosong menunjukan stabilitas yang lebih kuat dibandingkan stabilitas sebuah sistem yang hanya terdiri dari konjugasi. Aromatisitas juga bias dianggap sebagai manifestasi dari delokalisasi siklik dan resonansi. Syarat-syarat Aromatisitas:
1.   Molekul harus berbentuk siklik.
2.   Setiap atom pada cincin tersebut harus mempunyai orbital π, membentuk sistem berkonjugasi.
3.   Molekul haruslah planar.
4.   Jumlah elektron π molekul haruslah ganjil dan memenuhi kaidah Huckel: (4n+2) electron π.
Molekul-molekul yang mengandung 4n elektron π adalah antiaromatik.
Diatropik dan Aromatisitas
Pada awalnya definisi aromatisitas diambil dari sifat senyawa aromatik tentang
kestabilannya yang khas dan lebih mudah mengalami reaksi substitusi daripada reaksi adisi. Melalui pengamatan dengan nmr maka sekarang ini aromatisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempertahankan arus elektron dalam cincin yang dipengaruhi oleh medan luar. Senyawa-senyawa yang mempunyai kemampuan seperti itu disebut diatropik.
Gambar 1. Medan arus elektron dalam diatropik
Perlu ditekankan di sini bahwa definisi lama dan baru tidak harus paralel. Jika suatu senyawa adalah diatropik dan oleh karenanya aromatik menurut definisi baru, maka akan lebih stabil daripada bentuk kanonik yang berenergi paling rendah. Hal ini tidak berarti bahwa senyawa tersebut akan stabil terhadap udara, sinar, atau pereaksi-pereaksi yang umum karena kestabilan di sini tidak ditentukan oleh resonansi tapi oleh perbedaan energi bebas antara molekul nyata dengan keadaan transisi yang terlibat dan perbedaan ini kemungkinan cukup kecil, meskipun energi resonansi cukup besar. Suatu teori telah dikembangkan yang menghubungkan arus cincin, energi resonansi, dan karakter aromatik.
Kebanyakan senyawa aromatik mempunyai satu pusaran enam elektron yang tertutup dalam sebuah cincin (sextet aromatic), dan selanjutnya akan menjadi bahasan pertama.
Cincin Anggota Enam
Bukan hanya benzena yang aromatik tapi banyak senyawa heterosiklik yang analog dengannya dalam mana satu atau lebih heteroatom menggantikan karbon dalam cincin. Jika nitrogen adalah hetroatomnya maka terjadi sedikit perbedaan dalam sekstet, dan pasangan elektron bebas nitrogen tidak berpartisipasi dalam aromatisitas. Oleh karenanya, turunan N-oksida atau ion piridium adalah spesies yang masih aromatik. Meskipun demikian, bagi heterosiklik nitrogen terdapat lebih banyak bentuk kanonik yang penting (contoh 1) daripada benzena. Jika oksigen atau sulfur adalah heteroatom maka akan ada bentuk ionik (2) di mana oksigen atau sulfur bervalensi tiga. Dengan demikian piran (3) bukan aromatik, tapi ion pirilum (2) adalah aromatik.
Sistem Aromatik dengan Jumlah Elektron Selain Enam
Analog dengan ion tropilium, cincin beranggota tiga dengan satu ikatan rangkap dan satu muatan positif pada atom ketiga (kation siklopropenil) adalah suatu sistem 4n +2 dan oleh karenanya diharap memperlihatkan aromatisitas. Senyawa 20 tersubstitusi telah dibuat, demikian pula beberapa turunannya; di antaranya turunan trikloro, dipenil, dan dipropil-nya, dan spesies-spesies kimia tersebut adalah stabil meskipun bersudut 60oC. Di dalam kenyataan, kation tripropilsiklopropenil dan trisiklopropilsiklopropenil adalah termasuk dalam karbokation yang dikenal paling stabil, bahkan stabil dalam larutan air. Kation tri-t-butilsiklopropenil juga sangat stabil.
Lebih lanjut, siklopropenon (21) dan beberapa turunannya adalah stabil, bersesuaian dengan stabilitas tropon.

Pertanyaan : Apa yang menyebabkan pada definisi lama dan baru tidak harus paralel ?

Sumber : Firdaus. 2009. Kimia Organik Fisis I. Makassar : UNHAS.
http://independent.academia.edu/HimatekkFtiits